Merelakan bukan berarti menyerah, tapi lebih kepada menyadari dan menerima bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan. Move on.
Menyadari dan menerima. Setiap ada menyadari, selalu diikuti menerima. Kalau sudah sadar, berarti harus sudah bisa menerima. Itu teori. Bagaimana situasi di lapangan yang sebenarnya? Sudah tau, sudah sadar bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan, tapi masih sulit untuk menerima. Contoh yang paling dasar, seseorang yang memproklamirkan bahwa ia sedang dalam proses atau telah melewati proses ‘Move On’. Telah melewati proses tapi masih saja membahas yang berkaitan dengan dia-yang-tidak-bisa-dipaksakan. Masih saja mencari dimana letak kesalahan masa lalu. Masih menyesal dan berharap ada keajaiban bisa memutar waktu untuk memperbaiki yang rusak. Itu belum masuk dalam kategori menerima. Menerima juga bukan berarti lupa. Semua kenangan masa lalu, apalagi yang baik-baik, bersama orang yang kita anggap terbaik itu jangan sampai dijadikan media untuk menyiksa diri sendiri. Dikenang boleh, tapi jangan diratapi terus menerus. Kasian diri sendiri. Kurang tau persis bagaimana skala untuk menentukan seseorang boleh dikatakan ‘telah’ merelakan dan menerima. Yang jelas, jika masih terus membahas, menganggap diri sendiri bersalah, itu belum bisa masuk dalam kategori ‘merelakan’.
Sebenernya trik move on paling ampuh itu cuma satu: Harus
ada orang buat di Move On-in.
Ya! Harus ada orang buat di move on-in. Mungkin tidak semua orang setuju dengan pernyataan ini. Kenapa? Karena ada kemungkinan orang yang di-move-on-in itu cuma sebagai pelampiasan rasa sepi. Dan akibatnya? Timbul masalah baru.
Ya! Harus ada orang buat di move on-in. Mungkin tidak semua orang setuju dengan pernyataan ini. Kenapa? Karena ada kemungkinan orang yang di-move-on-in itu cuma sebagai pelampiasan rasa sepi. Dan akibatnya? Timbul masalah baru.
Kuncinya, Move On bukan
berarti lupa, bukan berarti berhenti
peduli, tapi lebih kepada menerima kalau tanpa
kita, dia (lebih) bahagia:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar